Sabtu, 02 Mei 2015

HUBUNGAN HYGIENE SANITASI LINGKUNGAN DAN KEJADIAN INFEKSI DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAN LABUHAN BELAWAN TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tujuan pembangunan di bidang sosial ekonomi yaitu meningkatkan jumlah keluarga yang sadar dan mampu dalam pengasuhan dan penumbuh kematangan, mengakses informasi, serta meningkatkan kualitas lingkungan. bagi peningkatan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. dibidang budaya yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kebuingani yaitu layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Pernasalahan pembangunan sosial dan budaya yang menjadi perhatian utama antara lain adalah masih rendahnya derajat kesehatan dan status gizi serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat.
Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Semakin rendah asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan anak. Gizi kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan anak. Pertumbuhan sel otak berlangsung sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf sempurna pada usia 4-5 tahun. Perkembangan otak yang cepat hanya dapat dicapai bila anak berstatus gizi baik (Depkes RI, 2012; Soendjojo dkk, 2010).
Berdasarkan indikator BB/U, status gizi dibagi menjadi 4 yaitu status gizi lebih, status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi buruk. Status gizi lebih, status gizi kurang dan status gizi buruk sama-sama mempunyai risiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi lebih dapat menyebabkan meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit hati. Status gizi yang rendah pada balita dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja, gangguan perkembangan mental dan kecerdasan serta terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu. (Almatsier, 2013 ; Soekirman, 2010).
Telah lama diketahui hubungan yang sinergis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. (Pudjiadi, 2010). Penyakit infeksi yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan diare. Menurut Ezzel dan Gorgon penyakit paru-paru kronis juga dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan. Kejadian infeksi terkait dengan kondisi higiene sanitasi lingkungan yang buruk (Pudjiadi, 2010).
Analisis data Susenas 1999 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih sebesar 4,48% dan prevalensi gizi buruknya sebesar 9,5%. Pada tahun 1999 diperkirakan 1,7 juta anak balita mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut 170.000 anak berada dalam gizi buruk tingkat berat yang disebut kwashiorkhor dan marasmus (Almatsier, 2001 ; Jahari dkk, 2000).
Dari sini dapat dilihat bahwa prevalensi gizi buruk lebih besar dari pada prevalensi gizi lebih. Prevalensi gizi buruk mengalami peningkatan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Krisis tersebut telah menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga miskin. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah dan konsumsi pangan menurun. (Tabor, dkk, 2002 ; Latief, dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Laksmi Widajanti, dkk pada tahun 1999 menunjukkan bahwa ada penurunan konsumsi energi, protein dan zat besi pada anak SD saat terjadinya krisis moneter.
Angka gizi buruk di Jawa Tengah termasuk tinggi dibandingkan dengan propinsi yang lain. Dari data kasus gizi buruk berdasarkan laporan petugas gizi kabupaten dan kota se-Jawa Tengah dari Bulan Januari-Mei 2001 ditemukan sebanyak 2.309 kasus gizi buruk dengan rasio gizi buruk 9,14 per 1000 balita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1000 balita, maka 9 di antaranya mengalami gizi buruk. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan status gizi merupakan hal penting untuk dilakukan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai hubungan  sanitasi lingkungan, dan kejadian infeksi dengan status gizi anak yang telah disapih pada usia 2-5 tahun. Menurut Arnelia dan Sri Muljati (1991), pada usia ini mulai terjadi pergeseran status gizi dari gizi sedang ke gizi kurang. Hal ini diduga karena anak sudah tidak mendapatkan ASI, sedangkan makanan yang dikonsumsi belum memenuhi kebutuhan gizi yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Lokasi penelitian dipilih Kecamatan Pekan Labuhan Belawan dengan pertimbangan prevalensi gizi buruk pada anak usia balita cukup tinggi. Kecamatan Pekan Labuhan Belawan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah dengan kasus gizi buruk tinggi yaitu sebanyak 72 kasus dengan rasio gizi buruk balita adalah 10,94/1000. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1000 balita terdapat 10 balita yang mengalami gizi buruk. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan rasio gizi buruk Jawa Tengah yaitu 9,14/1000 (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2001).
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada Hubungan hygiene sanitasi lingkungan dan kejadian infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2015? “
1.3.     Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan  Hygiene Sanitasi Lingkungan dan kejadian infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2015.



1.3.2. Tujuan Khusus
a.       Mengetahui hubungan hygiene sanitasi lingkungan dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
b.      Mengetahui hubungan kejadian infeksi dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2015.
1.4.    Manfaat Penelitian
1.4.1.  Bagi Masyarakat
Memberikan tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak yang telah disapih yaitu usia 2-5 tahun.
1.4.2.  Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan
Memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kota Medan sehingga upaya peningkatan status gizi bisa dilakukan.
1.4.3.  Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman langsung dalam penelitian di dalam bidang Gizi Masyarakat yang memberi latihan cara dan proses berfikir secara ilmiah.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Status Gizi
Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi dan penggunaannya di dalam tubuh (Supariasa, 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa status gizi adalah keadaan kesehatan yang merupakan akibat dari masukan zat gizi dan penggunaannya di dalam tubuh yang diperoleh dari makanan sehari-hari (Soedarmo, 1987).
2.2.      Penilaian Status Gizi
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran klinis, biokimia, biofisik, dan antropometrik (Supariasa, 2002). Pengukuran status gizi anak yang paling banyak digunakan adalah pengukuran antropometrik (Soekirman, 2000).
2.2.1.      Pengukuran Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan.
2.2.2.      Pengukuran Antropometrik
Dalam pengukuran antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).
Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri. Misalnya kombinasi BB dan umur membentuk indikator BB menurut umur yang disimbolkan dengan “BB/U”. Kombinasi TB dan umur membentuk indikator TB menurut umur yang disimbolkan dengan “TB/U”. Kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB yang disimbolkan dengan “BB/TB” (Soekirman, 2000).
1.      Indikator BB/U
Indikator BB/U berguna untuk mengukur status gizi saat ini.
1)      Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
                     a.         Timbang berat badan anak.
                     b.         Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/U yang sesuai dengan jenis kelamin anak.
                     c.         Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu umur.
                     d.         Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.


                             (1)      Tergolong gizi lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom + 2 SD baku WHONCHS
                             (2)      Tergolong gizi baik jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom -2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-NCHS.
                             (3)      Tergolong gizi kurang jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom - 3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
                             (4)      Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD baku WHO-NCHS
2)      Kelebihan indikator BB/U
a.       Mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum
b.      Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka pendek
c.       Dapat mendeteksi kegemukan
3)      Kelemahan indikator BB/U
                     a.         Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan atau oedem
                     b.         Data umur yang akurat sulit diperoleh terutama di negara yang sedang berkembang
                     c.         Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus
                     d.         Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orangtua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan.

2.      Indikator TB/U
Indikator TB/U berguna untuk mengambarkan status gizi masa lalu. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. (Soekirman, 2000).
1)      Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a.       Ukur tinggi badan anak
b.      Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator TB/U yang sesuai dengan jenis kelamin anak
c.       Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu Umur
d.      Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.
(1)      Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom - 2 SD baku WHONCHS.
(2)      Tergolong Stunted/pendek gizi baik jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -2 SD baku WHONCHS.
2)      Kelebihan indikator TB/U
                     a.         Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau
                     b.         Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi penduduk


3)      Kekurangan indikator TB/U
                     a.         Kesulitan untuk mengukur panjang badan pada usia balita
                     b.         Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini
                     c.         Memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit diperoleh negara-negara berkembang
                     d.         Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama jika dilakukan oleh tenaga non profesional.
3.      Indikator BB/TB
Merupakan pengukuran antropometrik yang terbaik. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Berat badan berkorelasi linear dengan tinggi badan artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proposional dengan tinggi badannya (Soekirman 2000).
1)      Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara:
                     a.         Timbang berat badan dan ukur tinggi badan anak
                     b.         Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/TB yang sesuai dengan jenis kelamin anak
                     c.         Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu Tinggi Badan
                     d.         Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.
(1)   Tergolong gemuk lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan     angka pada kolom + 2 SD baku WHO-NCHS
(2)    Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan       angka pada kolom -2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-   NCHS
(3)    Tergolong kurus/wasted jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom -3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
(4)    Tergolong sangat kurus gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD baku WHONCHS
2)      Kelebihan pemakaian indikator BB/TB
                     a.         Independen terhadap umur dan ras.
                     b.         Dapat menilai status “kurus” dan “gemuk” dan keadaan marasmus atau KEP berat yang lain.
3)      Kelemahan pemakaian indikator BB/TB
                     a.         Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak dilepas dan anak bergerak terus
                     b.         Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang atau tinggi badan pada kelompok usia balita
                     c.         Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan
                     d.         Kasalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama jika dilakukan oleh petugas non professional.
                     e.         Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut normal, pendek atau jangkung.
2.3.            Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi antara lain :
2.3.1.      Kejadian Infeksi
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui  muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan (Arisman, 2004).
Beberapa penyakit infeksi yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan diare. (Iqbal Kabir, dkk. 1994). Menurut Ezzel dan Gordon, (2000) penyakit paru-paru kronis juga dapat menyebabkan gizi buruk.
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas) adalah penyakit yang dengan gejala batuk, mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak napas (Priyanti Z, 1996).
Diare adalah penyakit dengan gejala buang air besar ≥ 4 kali sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa muntah (Suandi, 1998).
2.3.2.      Hygiene Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi (Poedjiadi, 1994). Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan seharihari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman, 2000).
2.3.3.      Pola Pengasuhan Anak
Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Bentuk kongkrit pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberikan kasih sayang, dan sebagainya. Hal tersebut sangat berkaitan dengan kesehatan ibu, status gizi ibu, pendidikan, pengetahuan, dan adat kebiasaan (Soekirman, 2000).

2.4.      Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan
 
Variabel Independent                          Variabel Dependent


 








2.5.      Hipotesis Penelitian
1.      Ada hubungan hygiene sanitasi lingkungan dengan infeksi pada anak usia 2-5 tahun di Wilayah Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
2.      Ada hubungan kejadian infeksi dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.

















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan desain cross sectional yaitu suatu penelitian dimana pengumpulan data variabel bebas dan terikatnya dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus.
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian
          Lokasi Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan dan waktu penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Juni – Juli Tahun 2013.

3.3.Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1        Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 2-5 tahun yang bertempat tinggal di Wilaya Kerja Puskesmas Medan Labuhan Medan  Belawan pada  Tahun 2012. Populasi penelitian ini sebanyak 120 anak.
3.3.2.      Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 2-5 tahun. Sedangkan responden adalah ibu dari anak usia 2-5 tahun seluruhnya dijadikan sebagai sampel.


3.4.      Variabel Penelitian
1.      Variabel bebas penelitian meliputi tingkat higiene sanitasi lingkungan dan kejadian infeksi.
2.      Variabel terikat penelitian adalah status gizi anak usia 2-5 tahun yang diukur dengan skor Z indeks BB/U.

3.5.             Definisi Operasional
3.5.2.       Hygiene Sanitasi Lingkungan
Adalah jumlah skor dari praktek responden dan sampel tentang higiene sanitasi lingkungan dan hasil observasi sesaat yang meliputi kebersihan pribadi dan lingkungan sekitar rumah responden yang diukur dari ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan yang disusun dalam 13 pertanyaan. Setiap jawaban responden diberi skor. Jika jawaban responden benar nilainya 1, sedangkan jika jawaban salah nilainya 0. Untuk keperluan analisis, hgiene sanitasi lingkungan dibagi dalam 3 kategori yaitu :
Baik                 : jika jumlah skor nilai 19-24
Cukup                         : jika jumlah skor nilai 13-18
Kurang            : jika jumlah skor nilai 0-12
Skala : ordinal
3.5.3.      Infeksi
Adalah riwayat penyakit baik Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) maupun diare yang pernah diderita anak dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan data dinilai dari jawaban responden pada kuesioner mengenai ISPA dan diare.
a.       Riwayat kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas) Adalah penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh anak selama tiga bulan terakhir saat pengambilan data dengan gejala batuk, mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak napas.
Skala         : nominal,
Kategori    : 1. Ya
  2. Tidak
b.      Riwayat kejadian Diare
Adalah penyakit yang pernah atau sedang diderita anak dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan data dengan gejala buang air besar ≥ 4 kali sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa muntah (Suandi, 1998)
Skala         : nominal
Kategori    : 1. Ya
  2. Tidak
3.5.4.      Status Gizi
Adalah skor z dengan indeks BB/U dari anak usia 2-5 tahun diukur dengan menggunakan baku rujukan WHO-NCHS yang dihitung secara manual.
Rumus untuk menghitung skor z adalah sebagai berikut :
                 Berat badan saat ini – Median
Skor z =  _______________________________________
                      SD (median -(-1SD)

Kategori status gizi berdasarkan skor z dengan indeks BB/U adalah:
a)      Gizi lebih               : > 2 SD baku WHO-NCHS
b)      Gizi baik                : - 2 SD s/d +2 SD
c)      Gizi kurang           : - 3 SD s/d -2 SD
d)     Gizi buruk             : < -3 SD
Skala : rasio
3.6.      Aspek Pengukuran
1.      Kuesioner untuk mengumpulkan data primer
2.      Formulir recall konsumsi makanan untuk 3 hari secara tidak berturutan
3.      Timbangan badan injak dengan merek Nikita dan ketelitian 0,1 kg
4.      Kartu Menuju Sehat (KMS)
3.7.      Metode Pengumpulan Data
  1. Pengambilan data sekunder dari DKK kota Medan untuk memperoleh data balita meliputi jumlah, nama dan alamat anak.
  2. Melakukan wawancara langsung dan observasi kepada responden untuk mengetahui faktor kejadian infeksi, dan sanitasi lingkungan.
3.8.      Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, dilakukan pengolahan data dengan tahaptahap sebagai berikut (Budiarto, 2002) :
  1. Editing
Editing merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang diperoleh melalui wawancara. Editing dilakukan pada setiap daftar pertanyaan yang sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi, dan relevansi dari setiap jawaban yang diberikan. Editing dilakukan di lapangan. Peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali kelengkapan jawaban dari kuesioner yang diberikan. Hasil editing didapatkan semua data terisi lengkap dan benar.
  1. Koding
Adalah usaha untuk mengklasifikasikan jawaban yang ada menurut jenisnya. Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka. Selanjutnya kode tersebut dimasukkan dalam tabel kerja untuk mempermudah dalam pembacaan.
  1. Tabulasi
Adalah kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel berdasarkan variabel yang diteliti.
  1. Entri data
Adalah memasukkan data yang telah ditabulasi ke dalam komputer program SPSS for Windows release 11,5 kemudian dilanjutkan analisis data (Santoso.S, 2002).
Analisa data meliputi :
a.       Analisa deskriptif
Analisa deskriptif dibuat dengan menggunakan tabel-tabel untuk menggambarkan tingkat, kejadian ISPA dan diare, higiene sanitasi lingkungan, dan status gizi anak usia 2-5 tahun di Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.


b.      Analisa inferensial
Untukmengetahui hubungan sanitasi lingkungan dan kejadian infeksi dengan status gizi maka data dianalisa secara statistik yaitu uji chisquare.













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.       Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 4 Puskesmas di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan.
Puskesmas tersebut adalah :
  a.         Puskesmas Jimbaran
  b.         Puskesmas Bandungan
  c.         Puskesmas Bancak
  d.         Puskesmas Susukan
Pemilihan 4 puskesmas tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa di         4 puskesmas tersebut jumlah anak usia 2-5 tahun paling banyak dibandingkan puskesmas yang lain.

4.2     Karakteristik Responden
4.2.1.      Tingkat Pendidikan Ibu
Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan ibu terendah 1 tahun, tertinggi 13 tahun dan rata-rata 6,5 tahun dengan standar deviasi 6,5 tahun. Sebagian besar responden tingkat pendidikannya kurang dari 9 tahun yaitu sebanyak 92% dan yang lebih dari 9 tahun ada 8%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan responden rendah karena belum mencapai batas minimal pendidikan dasar yang diwajibkan pemerintah yaitu sampai 9 tahun (Sisdiknas, 2002).
Tabel 4.2.1
Distribusi Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan Ibu
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
< 9 tahun
≥ 9 tahun
70
6
92,0
8,0
Jumlah
76
100,0


4.2.2.      Tingkat Pendapatan Per kapita
Tingkat pendapatan per kapita terendah Rp 25.000,00 tertinggi Rp 200.000,00 dan rata-rata Rp 78.789,00, dengan standar deviasi Rp 32.644,00. Sebagian besar responden tingkat pendapatan per kapitanya lebih besar dari Rp 72.780,00/ kapita/ bulan yaitu sebanyak 57,9%. Berdasarkan batas kemiskinan dari BPS yaitu Rp 72.780,00/kapita/bulan, sebagian besar responden tingkat pendapatannya di atas garis kemiskinan.
Tabel 4.2.2
Distribusi Responden Berdasarkan
Tingkat Pendapatan Per kapita


Tingkat pendapatan perkapita
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
≤ Rp. 72.790.00
> Rp. 72.780.00
32
44
42,1
57,9
Jumlah
76
100,0

4.2.3.      Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi
Dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi terendah 5, tertinggi 11, dan rata-rata 9,2 dengan standar deviasi 1,6. Sebanyak 51,3% responden tingkat pengetahuan gizinya termasuk kategori kurang.
Menurut Winarto (1990), pentingnya pengetahuan tentang gizi didasarkan pada tiga kenyataan. Pertama, status gizi yang cukup merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan. Kedua, seseorang akan cukup gizi jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan, dan energi. Ketiga, ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesehatan.
Tabel 4.2.3
Distribusi Responden Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi

Tingkat Pengetahuan
Ibu tentang Gizi
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Baik (<9 span="">
Kurang (≤9)
37
39
48,7
51,3
Jumlah
76
100,0


4.2.4.      Jumlah Anggota Keluarga
Dalam penelitian ini, jumlah anggota keluarga responden terendah 3 orang, tertinggi 12 orang, dan rata-rata 5 orang dengan standar deviasi 1,6. Sebanyak 76,3% responden jumlah anggota keluarganya termasuk sedikit yaitu kurang dari 6 orang. Banyak sedikitnya anggota keluarga berhubungan dengan distribusi makanan dalam suatu keluarga. Hasil penelitian Dini Latief, dkk (2000) menunjukkan bahwa selama terjadi krisis moneter, distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah tangga yang mempunyai anggota yang cukup besar.
Tabel 4.2.4
Distribusi Responden Berdasarkan
Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota
Keluarga
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Sedikit (< 6 orang)
Banyak (≥ 6 orang)
58
18
76,3
23,7
Jumlah
76
100,0

4.2.5.      Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan
Pada penelitian ini, skor higiene sanitasi lingkungan responden terendah 10, tertinggi 23 dan rata-rata 17 dengan standar deviasi 17,12. Sebanyak 52,6% responden tingkat higiene sanitasi lingkungannya termasuk dalam kategori cukup. Sanitasi lingkungan yang dinilai dalam penelitian ini meliputi ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga.
Tabel 4.2.5
Distribusi Responden Berdasarkan
Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan

Tingkat Higiene Sanitasi
Lingkungan
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Baik (20-24)
Cukup (15-19)
Kurang (10-14)
20
40
16
26,3
52,6
21,1
Jumlah
76
100,0

4.3.             Karakteristik Sampel
4.3.1.      Tingkat Konsumsi Energi
Pada penelitian ini, tingkat konsumsi energi sampel terendah 9%, tertinggi 100 %, rata-rata 42,72% (defisit) dengan standar deviasi 17,9%. Sebagian besar sampel mengalami defisit yaitu sebesar 93,4%. Angka ini lebih tinggi dari angka prevalensi rumah tangga di pedesaan pada tahun 1998 yang mengalami defisit energi yaitu sebesar 47,5%.
Tabel 4.3.1
Distribusi Sampel Berdasarkan
Tingkat Konsumsi Energi

Tingkat Konsumsi Energi
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
≥ 100% (baik)
80-99% (Sedang)
70-80% (Kurang)
< 70% (Defisit)
1
1
3
71
1,3
1,3
3,9
93,4
Jumlah
76
100,0

4.3.2.      Tingkat Konsumsi Protein
Pada penelitian ini, tingkat konsumsi protein sampel terendah 18,0% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, tertinggi 187,0% AKG, dan rata-rata 82,21% AKG standar deviasi 33,96%. Ini artinya rata-rata tingkat konsumsi protein sampel termasuk kategori sedang. Sebanyak 35,5% sampel mengalami defisit, tetapi ada 25% sampel tingkat konsumsi protein dengan baik sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Angka defisit protein pada penelitian ini lebih tinggi dari angka prevalensi rumah tangga yang mengalami defisit protein di pedesaan pada tahun 1998 yaitu sebesar 26,7%.
Tabel 4.3.2
Distribusi Sampel Berdasarkan
Tingkat Konsumsi Protein

Tingkat Konsumsi Preotein
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
≥ 100% (Baik)
80-99% (Sedang)
70-80% Kurang)
< 70% (Defisit)
19
20
10
27
25
26,3
13,2
35,5
Jumlah
76
100,0


4.3.3.      ISPA
Pada penelitian ini, dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan data sebagian besar sampel yaitu sebanyak 63,2% pernah mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas).
Tabel 4.3.3
Distribusi Sampel Berdasarkan ISPA

ISPA
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Ya
Tidak
48
28
63,2
35,8
Jumlah
76
100,0








4.3.4.      Diare
Pada penelitian ini, dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan data hanya 1,3% sampel yang pernah mengalami diare.
Tabel 4.3.4
Distribusi Sampel Berdasarkan Diare

Diare
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Ya
Tidak
1
75
1,3
98,7
Jumlah
76
100,0


4.3.5.      Status Gizi
Pada penelitian ini, skor Z indeks BB/U sampel terendah -3,5, tertinggi 1,9 dan rata-rata 1,74 (status gizi baik) dengan standar deviasi 1,79. Setelah dikelompokkan, sampel yang mempunyai status gizi buruk dan status gizi baik persentasenya sama yaitu masing-masing 39,6%. Angka gizi buruk pada penelitian ini lebih tinggi dari angka gizi buruk hasil analisis data Susenas tahun 1999 untuk kelompok usia 6 -23 bulan. Analisis data Susenas tahun 1999 menunjukkan bahwa angka gizi buruk untuk kelompok usia 6 -23 bulan sebesar 10,2%. Hal ini sesuai dengan pendapat Arnelia dan Sri Muljati (1991) yang mengatakan bahwa pada usia 2-5 tahun pergeseran status gizi dari gizi sedang ke gizi kurang karena anak sudah tidak mendapatkan ASI, sedangkan makanan yang dikonsumsi belum memenuhi kebutuhan gizi yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur.

Tabel 4.3.5
Status Gizi Sampel Berdasarkan Skor Z indeks BB/U

Status gizi
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Baik
Kurang
Buruk
30
16
30
39,6
20,8
39,6
Jumlah
76
100,0


4.4.   Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Tingkat Konsumsi Energi dan          Protein.
4.4.1.      Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein.
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi (r=0,331 dan p=0,003) dan tingkat konsumsi protein (r = 0,383 dan p = 0,001). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin tinggi tingkat konsumsi energi dan protein anaknya. Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi termasuk informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang gizi (Suharjo, 1992). Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah seseorang menyerap informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi terkait dengan pentingnya mengkonsumsi energi dan protein secara adekuat. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan akan tercipta pola kebiasaan yang baik dan sehat (Handayani, 1994).
Schultz (1984) menjelaskan setidaknya ada 5 upaya yang merupakan imbas dari pendidikan ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertama, pendidikan akan meningkatkan sumberdaya keluarga. Kedua, pendidikan akan meningkatkan pendapatan keluarga. Ketiga, pendidikan akan meningkatkan alokasi waktu untuk pemeliharaan kesehatan anak. Keempat, pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan efektifitas pemeliharaan kesehatan. Kelima, pendidikan akan meningkatkan referensi kehidupan keluarga.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Graham (1972) dan Bairagi (1980) sebagaimana dikutip Satoto (1990) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin baik pertumbuhan anaknya.
4.4.2.      Hubungan Tingkat Pendapatan Perkapita dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat konsumsi energi (r = 0,100 dan p=0,389) dan protein (r = 0,133 dan p=0,251). Hal ini berarti tingkat konsumsi energi dan protein antara anak dari keluarga miskin dengan anak yang berasal dari keluarga yang tidak miskin hampir sama. Hal ini terjadi kemungkinan karena masyarakat yang tingkat pendapatan per kapitanya di atas garis kemiskinan tidak membelanjakan hartanya sesuai ilmu gizi. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada rendahnya anggaran untuk belanja pangan dan mutu serta keanekaragaman makanan yang kurang. Keluarga lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan.
Penelitian dengan hasil yang sama dilakukan oleh Karjati dkk (1976) serta Fajans dkk (1983) yang tidak menemukan hubungan tingkat pendapatan dengan pertumbuhan balita.
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Winarno (1990) yang mengatakan jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan juga akan membaik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dillakukan oleh Alisyahbana (1984) yang menemukan bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan keadaan gizi anak. Demikian juga penelitian yang dilakukan Satoto (1988) menunjukkan hubungan yang kuat kemakmuran keluarga dengan keadaan gizi.
4.4.3.      Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Hasil uji statistik Rank Spearman menunjukkan ada hubungan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi protein (r = 0,253 dan p = 0,027). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi mempunyai peranan dalam meningkatkan konsumsi protein. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khumaidi (1994) yang menyebutkan bahwa pengetahuan ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makan keluarga sehingga dapat memperbaiki status gizi.
Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi (r= 0,222 dan p=0,142). Hal ini mungkin disebabkan karena mengkonsumsi makanan sumber utama energi merupakan sesuatu yang sudah umum berlaku di masyarakat. Jadi, untuk mengkonsumsi makanan sumber energi masyarakat sudah tidak memerlukan pengetahuan khusus. Selain itu bisa juga disebabkan karena bahan makanan sumber energi relatif murah sehingga menjadi pilihan masyarakat pada saat terjadi krisis ekonomi sebagaimana hasil penelitian Latief dkk (1999) yang menunjukkan bahwa pada saat krisis ekonomi, konsumsi bahan makanan sumber utama energi meningkat.
4.4.4.    Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Tingkat Konsumsi       Energi dan Protein
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi energi (r=-0,029 dan p=0,804) dan protein (r=-0,132 dan p=0,256). Hal ini mungkin karena dalam penelitian ini, jumlah anggota keluarga responden rata-rata 5 orang. Menurut Dini Latief, dkk (2000), pada keluarga yang beranggotakan 3 – 5 orang rata-rata intake energi dan protein masih mendekati nilai yang dianjurkan, sedangkan pada rumah tangga yang beranggotakan 6 orang atau lebih menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang memburuk.
4.4.5.       Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat konsumsi energi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (r = 0,328 dan p=0,004). Demikian juga tingkat konsumsi protein dengan status gizi (r = 0,348 dan p=0,002). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat konsumsi energi dan protein semakin baik status gizinya. Tidak dipungkiri lagi bahwa masukan zat gizi terutama energi dan protein mempengaruhi keadaan gizi seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Arnelia & Sri Muljati (1991) yang mengatakan bahwa adanya penurunan status gizi disebabkan karena kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut rumusan PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia) tentang penyebab gizi kurang, salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan gizi adalah asupan makanan (Supariasa, 2002).
4.5.Hubungan Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi
4.5.1.      Hubungan Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan dengan ISPA
Uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan tingkat higiene sanitasi lingkungan dengan terjadinya ISPA pada anak usia 2-5 tahun (x2 =0,412 dan p = 0,814). Hal ini berarti bahwa infeksi ISPA dapat terjadi pada tingkat higiene sanitasi lingkungan baik, cukup atau kurang.
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Pudjiadi (1990) yang mengatakan bahwa anak yang berada di lingkungan dengan keadaan higiene yang buruk akan lebih mudah terserang infeksi. Chen (1983) mengatakan lingkungan sebagai sumber kontaminasi mikroorganisme yang menjurus pada keseringan kesakitan infeksi. Hal ini mungkin disebabkan karena data higiene sanitasi lingkungan kurang sensitif menggambarkan kondisi higiene sanitasi lingkungan karena bentuk kuesionernya tertutup dan jawaban yang disediakan selalu, kadang-kadang,dan tidak pernah. Responden menjawab hanya berdasarkan memorinya saja.
4.5.2.      Hubungan Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan dengan Diare
Uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan tingkat higiene sanitasi lingkungan dengan terjadinya diare pada anak usia 2-5 tahun (x2 =1,619 dan p=0,445). Hal ini berarti bahwa penyakit diare dapat terjadi pada tingkat higiene sanitasi lingkungan baik, cukup atau kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini sangat sedikit sampel yang pernah mengalami diare. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Suharyono dkk (1998) yang menyebutkan bahwa keadaan higiene sanitasi yang buruk merupakan salah satu penyebab diare secara tidak langsung.

4.6.Hubungan Infeksi dengan Status Gizi
4.6.1.      Hubungan ISPA dengan Status Gizi
Uji statistik Chi-Square menunjukkan ada hubungan kejadian ISPA dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (x2 =12,377 dan p=0,002). Hal ini berarti bahwa status gizi dari anak yang menderita ISPA lebih buruk dari pada anak yang tidak menderita ISPA. Hal ini sesuai dengan pendapat Kabir (1994) yang mengatakan bahwa ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Menurut Winarno, (1990), infeksi dapat menurunkan nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan. Pada penderita ISPA biasanya nafsu makannya menurun, sehingga jumlah makanan yang seharusnya dikonsumsi tidak terpenuhi.
Tabel 4.6.1
Distribusi Sampel Berdasarkan Status Gizi dan ISPA

Status gizi
ISPA
Total
ISPA
  Tidak
Status gizi baik
Status gizi kuranbg
Status gizi buruk
12
11
25
18
5
5
30
16
30
Jumlah
48
28
76

4.6.2.      Hubungan Diare dengan Status Gizi
Uji statistik Chi-Square menunjukkan tidak ada hubungan kejadian diare dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (x2=4,789 dan p = 0,091). Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini hanya sedikit sekali sampel yang mengalami diare dalam 3 bulan terakhir (1,3 %). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Scrimshaw (1981) yang mengemukakan bahwa dampak diare terhadap keadaan gizi dan pertumbuhan lebih dahsyat dari pada infeksi lain karena selama diare terjadi gangguan masukan, gangguan absorbsi, dan gangguan metabolisme secara bersamaan.
Rangkuman Hasil Uji Statistik

No
Variabel bebas
Variabel terikat
Uji statistik
r / x 2
p
1
Tingkat pendidikan ibu
Tingkat konsumsi energy
Rank Spearman
r= 0,331
0,003
2
Tingkat pendapatan perkapita
Tingkat konsumsi energy
Rank Spearman
r= 0,100
0,389
3
Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi
Tingkat konsumsi energy
Rank Spearman
r= 0,142
0,804
4
Jumlah anggota keluarga
Tingkat konsumsi energy
Rank Spearman
r= 0,029
0,222
5
Tingkat pendidikan Ibu
Tingkat konsumsi protein
Rank Spearman
r= 0,383
0,001
6
Tingkat pendapatan perkapita
Tingkat konsumsi protein
Rank Spearman
r= 0,133
0,251
7
Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi
Tingkat konsumsi protein
Rank Spearman
r= 0,253
0,256
8
Jumlah anggota keluarga
Tingkat konsumsi protein
Rank Spearman
r= 0,132
0,027
9
Tingkat hygiene sanitasi lingkungan
Kejadian ISPA
Chi-Square
X2= 0,412
0,814
10
Tingkat hygiene sanitasi lingkungan
Kejadian Diare
Chi-Square
X2= 1,619
0,445
11
Tingkat konsumsi energy
Status gizi anak usia 2-5 tahun
Rank Spearman
r= 0,328
0,001
12
Tingkat konsumsi protein
Status gizi anak usia 2-5 tahun
Rank Spearman
r= 0,348
0,004
13
Kejadian ISPA
Status gizi anak usia 2-5 tahun
Chi-Square
X2= 12,377
0,002
14
Kejadian Diare
Status gizi anak usia 2-5 tahun
Chi-Square
X2= 4,789
0,091

4.7.Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa jarak pengambilan data dengan pengolahan data cukup lama, skoring higiene sanitasi lingkungan dan pengetahuan ibu tentang gizi yang tidak baku sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini berkurang.












BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan
1.                  Sebanyak 92% responden tingkat pendidikannya rendah (kurang dari 9 tahun), 57,9% responden tingkat pendapatannya di atas garis kemiskinan, 51,3% responden tingkat pengetahuan gizinya termasuk dalam kategori kurang, 76,3% responden jumlah anggota keluarganya sedikit (< 6 orang), dan 52,6% responden tingkat higiene sanitasi lingkungannya termasuk kategori cukup.
2.                  Sebanyak 93,4% sampel tingkat konsumsi energinya termasuk kategori defisit, 35,5% sampel tingkat konsumsi proteinnya termasuk kategori defisit. Selama 3 bulan terakhir 63,2% sampel mengalami ISPA dan hanya 1,3% sampel yang mengalami diare. Sampel yang mempunyai status gizi buruk sebanyak 39,6%.
3.                  Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi (p=0,003) pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi tingkat konsumsi energi anaknya.
4.                  Ada hubungan tingkat pendidikan ibu (p=0,001).dan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi (p=0,027) dengan tingkat konsumsi protein pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013. Semakin tinggi pendidikan ibu dan semakin baik pengetahuan ibu tentang gizi maka semakin tinggi tingkat konsumsi protein anaknya.
5.                  Ada hubungan tingkat konsumsi energi (p=0,004), tingkat konsumsi protein (p=0,002), dan kejadian ISPA (p = 0,002) dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013. Semakin baik tingkat konsumsi energi dan protein maka semakin baik status gizi anak usia 2-5 tahun. Anak yang menderita ISPA status gizinya lebih buruk dari anak yang tidak menderita ISPA.
6.                  Tidak ada hubungan tingkat pendapatan per kapita (p= 0,389), tingkat pengetahuan ibu tentang gizi (p=0,222), dan jumlah anggota keluarga (p=0,804) dengan tingkat konsumsi energi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
7.                  Tidak ada hubungan tingkat pendapatan per kapita (p=0,251) dan jumlah anggota keluarga (p=0,256) dengan tingkat konsumsi protein pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
8.                  Tidak ada hubungan higiene sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA (p = 0,814) dan diare (p = 0.445) pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
9.                  Tidak ada hubungan kejadian diare (p = 0,091) dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.


5.2.Saran
5.2.1.      Bagi Dinas Kesehatan
Membuat penyuluhan yang menarik untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi dan pentingnya pencegahan ISPA.
5.2.2.      Bagi Dinas Pendidikan
Mendorong masyarakat khususnya ibu-ibu yang belum memenuhi kewajibannya wajib belajar 9 tahun untuk mengikuti program Kejar Paket C.

Tidak ada komentar: