BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tujuan pembangunan di bidang sosial
ekonomi yaitu meningkatkan jumlah keluarga yang sadar dan mampu dalam
pengasuhan dan penumbuh kematangan, mengakses informasi, serta meningkatkan kualitas lingkungan.
bagi peningkatan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. dibidang budaya yaitu
terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas
kebuingani yaitu layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama
pada tercukupinya kebutuhan dasar. Pernasalahan pembangunan sosial dan budaya
yang menjadi perhatian utama antara lain adalah masih rendahnya derajat
kesehatan dan status gizi serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat.
Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.
Status gizi berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada
masa usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Semakin rendah
asupan zat gizi yang diterima, semakin rendah pula status gizi dan kesehatan
anak. Gizi kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-anak terutama pada umur
kurang dari 5 tahun dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan jasmani dan
kecerdasan anak. Pertumbuhan sel otak berlangsung sangat cepat dan akan
berhenti atau mencapai taraf sempurna pada usia 4-5 tahun. Perkembangan otak yang
cepat hanya dapat dicapai bila anak berstatus gizi baik (Depkes RI, 2012;
Soendjojo dkk, 2010).
Berdasarkan indikator BB/U, status gizi dibagi
menjadi 4 yaitu status gizi lebih, status gizi baik, status gizi kurang dan
status gizi buruk. Status gizi lebih, status gizi kurang dan status gizi buruk
sama-sama mempunyai risiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi lebih
dapat menyebabkan meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner,
diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit hati. Status gizi yang rendah pada
balita dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak,
terganggunya pertumbuhan badan, menurunnya daya kerja, gangguan perkembangan
mental dan kecerdasan serta terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu.
(Almatsier, 2013 ; Soekirman, 2010).
Telah lama diketahui hubungan yang sinergis antara
malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. (Pudjiadi,
2010). Penyakit infeksi yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk adalah Infeksi
Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan diare. Menurut Ezzel dan Gorgon
penyakit paru-paru kronis juga dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk.
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu
penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan. Kejadian infeksi terkait dengan
kondisi higiene sanitasi lingkungan yang buruk (Pudjiadi, 2010).
Analisis data Susenas 1999 menunjukkan bahwa
prevalensi gizi lebih sebesar 4,48% dan prevalensi gizi buruknya sebesar 9,5%.
Pada tahun 1999 diperkirakan 1,7 juta anak balita mengalami gizi buruk. Dari jumlah
tersebut 170.000 anak berada dalam gizi buruk tingkat berat yang disebut
kwashiorkhor dan marasmus (Almatsier, 2001 ; Jahari dkk, 2000).
Dari sini dapat dilihat bahwa prevalensi gizi buruk
lebih besar dari pada prevalensi gizi lebih. Prevalensi gizi buruk mengalami
peningkatan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Krisis tersebut telah menyebabkan
meningkatnya jumlah keluarga miskin. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah
dan konsumsi pangan menurun. (Tabor, dkk, 2002 ; Latief, dkk, 2000). Penelitian
yang dilakukan oleh Laksmi Widajanti, dkk pada tahun 1999 menunjukkan bahwa ada
penurunan konsumsi energi, protein dan zat besi pada anak SD saat terjadinya
krisis moneter.
Angka gizi buruk di Jawa Tengah termasuk tinggi
dibandingkan dengan propinsi yang lain. Dari data kasus gizi buruk berdasarkan
laporan petugas gizi kabupaten dan kota se-Jawa Tengah dari Bulan Januari-Mei 2001
ditemukan sebanyak 2.309 kasus gizi buruk dengan rasio gizi buruk 9,14 per 1000
balita. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1000 balita, maka 9 di antaranya
mengalami gizi buruk. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan status gizi
merupakan hal penting untuk dilakukan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti lebih jauh mengenai hubungan
sanitasi lingkungan, dan kejadian infeksi dengan status gizi anak yang
telah disapih pada usia 2-5 tahun. Menurut Arnelia dan Sri Muljati (1991), pada
usia ini mulai terjadi pergeseran status gizi dari gizi sedang ke gizi kurang. Hal
ini diduga karena anak sudah tidak mendapatkan ASI, sedangkan makanan yang
dikonsumsi belum memenuhi kebutuhan gizi yang semakin meningkat seiring dengan
pertambahan umur.
Lokasi penelitian dipilih Kecamatan Pekan Labuhan
Belawan dengan pertimbangan prevalensi gizi buruk pada anak usia balita cukup
tinggi. Kecamatan Pekan Labuhan Belawan merupakan salah satu kabupaten di Jawa
Tengah dengan kasus gizi buruk tinggi yaitu sebanyak 72 kasus dengan rasio gizi
buruk balita adalah 10,94/1000. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1000 balita
terdapat 10 balita yang mengalami gizi buruk. Angka ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan rasio gizi buruk Jawa Tengah yaitu 9,14/1000 (Profil
Kesehatan Jawa Tengah, 2001).
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan,
maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada
Hubungan hygiene sanitasi lingkungan dan kejadian infeksi dengan status gizi
anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2015?
“
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui
hubungan Hygiene Sanitasi Lingkungan dan kejadian infeksi dengan
status gizi anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan
Belawan Tahun 2015.
1.3.2. Tujuan Khusus
a.
Mengetahui hubungan hygiene sanitasi lingkungan dengan status
gizi pada
anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
b.
Mengetahui hubungan kejadian infeksi dengan status gizi pada
anak usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan Tahun 2015.
1.4. Manfaat
Penelitian
1.4.1.
Bagi
Masyarakat
Memberikan
tambahan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
pada anak yang telah disapih yaitu usia 2-5 tahun.
1.4.2.
Bagi
Dinas Kesehatan Kota Medan
Memberikan
informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak
usia 2-5 tahun di Kota
Medan sehingga upaya peningkatan status
gizi bisa dilakukan.
1.4.3.
Bagi
Peneliti
Memberikan
pengalaman langsung dalam penelitian di dalam bidang Gizi Masyarakat yang
memberi latihan cara dan proses berfikir secara ilmiah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Status Gizi
Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai
akibat keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi dan penggunaannya di
dalam tubuh (Supariasa, 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa status gizi
adalah keadaan kesehatan yang merupakan akibat dari masukan zat gizi dan
penggunaannya di dalam tubuh yang diperoleh dari makanan sehari-hari (Soedarmo,
1987).
2.2. Penilaian Status Gizi
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu
dengan pengukuran klinis, biokimia, biofisik, dan antropometrik (Supariasa,
2002). Pengukuran status gizi anak yang paling banyak digunakan adalah pengukuran
antropometrik (Soekirman, 2000).
2.2.1.
Pengukuran Biofisik
Penilaian status gizi
secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan
fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan jaringan.
2.2.2.
Pengukuran Antropometrik
Dalam pengukuran
antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Dari beberapa
pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai dengan
usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).
Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya
diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri,
tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari
ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri. Misalnya
kombinasi BB dan umur membentuk indikator BB menurut umur yang disimbolkan
dengan “BB/U”. Kombinasi TB dan umur membentuk indikator TB menurut umur yang
disimbolkan dengan “TB/U”. Kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut
TB yang disimbolkan dengan “BB/TB” (Soekirman, 2000).
1.
Indikator BB/U
Indikator BB/U berguna untuk mengukur status gizi
saat ini.
1)
Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a.
Timbang berat badan anak.
b.
Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk
indikator BB/U yang sesuai dengan jenis kelamin anak.
c.
Perhatikan kolom paling kiri untuk
variabel perujuk yaitu umur.
d.
Bandingkan hasil pengukuran dengan angka
yang ada dalam tabel.
(1)
Tergolong gizi lebih jika hasil ukur
lebih besar atau sama dengan angka pada kolom + 2 SD baku WHONCHS
(2)
Tergolong gizi baik jika hasil ukur
lebih besar atau sama dengan angka pada kolom -2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD
baku WHO-NCHS.
(3)
Tergolong gizi kurang jika hasil ukur
lebih besar atau sama dengan angka pada kolom - 3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
(4)
Tergolong gizi buruk jika hasil ukur
lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD baku WHO-NCHS
2)
Kelebihan indikator BB/U
a.
Mudah dan cepat dimengerti oleh
masyarakat umum
b.
Sensitif untuk melihat perubahan status
gizi dalam jangka pendek
c.
Dapat mendeteksi kegemukan
3)
Kelemahan indikator BB/U
a.
Interpretasi status gizi dapat keliru
apabila terdapat pembengkakan atau oedem
b.
Data umur yang akurat sulit diperoleh
terutama di negara yang sedang berkembang
c.
Kesalahan pada saat pengukuran karena
pakaian anak tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus
d.
Masalah sosial budaya setempat yang
mempengaruhi orangtua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti
barang dagangan.
2.
Indikator TB/U
Indikator
TB/U berguna untuk mengambarkan status gizi masa lalu. Dalam keadaan normal
tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi
badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh
kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang
cukup lama. (Soekirman, 2000).
1)
Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a.
Ukur tinggi badan anak
b.
Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator
TB/U yang sesuai dengan jenis kelamin anak
c.
Perhatikan kolom paling kiri untuk
variabel perujuk yaitu Umur
d.
Bandingkan hasil pengukuran dengan angka
yang ada dalam tabel.
(1)
Tergolong normal jika hasil ukur lebih
besar atau sama dengan angka pada kolom - 2 SD baku WHONCHS.
(2)
Tergolong Stunted/pendek gizi
baik jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -2 SD baku WHONCHS.
2)
Kelebihan indikator TB/U
a.
Dapat memberikan gambaran riwayat
keadaan gizi masa lampau
b.
Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi
penduduk
3)
Kekurangan indikator TB/U
a.
Kesulitan untuk mengukur panjang badan
pada usia balita
b.
Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi
saat ini
c.
Memerlukan data umur yang akurat yang
sering sulit diperoleh negara-negara berkembang
d.
Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan
skala ukur, terutama jika dilakukan oleh tenaga non profesional.
3.
Indikator BB/TB
Merupakan
pengukuran antropometrik yang terbaik. Ukuran ini dapat menggambarkan status
gizi saat ini dengan lebih sensitif. Berat badan berkorelasi linear dengan tinggi
badan artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan
yang normal akan proposional dengan tinggi badannya (Soekirman 2000).
1)
Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara:
a.
Timbang berat badan dan ukur tinggi
badan anak
b.
Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk
indikator BB/TB yang sesuai dengan jenis kelamin anak
c.
Perhatikan kolom paling kiri untuk
variabel perujuk yaitu Tinggi Badan
d.
Bandingkan hasil pengukuran dengan angka
yang ada dalam tabel.
(1)
Tergolong gemuk lebih jika hasil ukur
lebih besar atau sama dengan angka pada kolom + 2 SD baku
WHO-NCHS
(2)
Tergolong
normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom -2 SD dan
lebih kecil dari + 2 SD baku WHO- NCHS
(3)
Tergolong
kurus/wasted jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom -3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
(4) Tergolong sangat kurus gizi buruk jika hasil
ukur lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD baku WHONCHS
2)
Kelebihan pemakaian indikator BB/TB
a.
Independen terhadap umur dan ras.
b.
Dapat menilai status “kurus” dan “gemuk”
dan keadaan marasmus atau KEP berat yang lain.
3)
Kelemahan pemakaian indikator BB/TB
a.
Kesalahan pada saat pengukuran karena
pakaian anak yang tidak dilepas dan anak bergerak terus
b.
Kesulitan dalam melakukan pengukuran
panjang atau tinggi badan pada kelompok usia balita
c.
Masalah sosial budaya setempat yang
mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap
seperti barang dagangan
d.
Kasalahan sering dijumpai pada pembacaan
skala ukur, terutama jika dilakukan oleh petugas non professional.
e.
Tidak dapat memberikan gambaran apakah
anak tersebut normal, pendek atau jangkung.
2.3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Status Gizi
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi antara
lain :
2.3.1.
Kejadian Infeksi
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi
melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit
infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan (Arisman,
2004).
Beberapa penyakit infeksi yang mempengaruhi
terjadinya gizi buruk adalah Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) dan
diare. (Iqbal Kabir, dkk. 1994). Menurut Ezzel dan Gordon, (2000) penyakit
paru-paru kronis juga dapat menyebabkan gizi buruk.
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas) adalah
penyakit yang dengan gejala batuk, mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak
napas (Priyanti Z, 1996).
Diare adalah penyakit dengan gejala buang air besar
≥ 4 kali sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa muntah (Suandi,
1998).
2.3.2.
Hygiene Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status
gizi (Poedjiadi, 1994). Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan
air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan
makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan
seharihari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman,
2000).
2.3.3.
Pola Pengasuhan Anak
Pola pengasuhan anak adalah kemampuan keluarga dan masyarakat
untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat
tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial. Bentuk
kongkrit pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga
kebersihan, memberikan kasih sayang, dan sebagainya. Hal tersebut sangat
berkaitan dengan kesehatan ibu, status gizi ibu, pendidikan, pengetahuan, dan
adat kebiasaan (Soekirman, 2000).
2.4.
Kerangka
Konsep
|
![]() |
2.5.
Hipotesis Penelitian
1.
Ada hubungan hygiene sanitasi lingkungan
dengan infeksi pada anak usia 2-5 tahun di Wilayah Pekan Labuhan Belawan Tahun
2013.
2.
Ada hubungan kejadian infeksi dengan
status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun
2013.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1.
Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah survei
dengan desain cross sectional yaitu suatu penelitian dimana pengumpulan
data variabel bebas dan terikatnya dilakukan secara bersama-sama atau
sekaligus.
3.2.Lokasi
dan Waktu Penelitian
Lokasi
Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Belawan dan waktu
penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Juni – Juli Tahun 2013.
3.3.Populasi dan Sampel
Penelitian
3.3.1
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia
2-5 tahun yang bertempat tinggal di Wilaya Kerja Puskesmas Medan Labuhan Medan Belawan pada Tahun 2012. Populasi penelitian ini sebanyak 120 anak.
3.3.2.
Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 2-5
tahun. Sedangkan responden adalah ibu dari anak usia 2-5 tahun seluruhnya dijadikan sebagai sampel.
3.4.
Variabel Penelitian
1.
Variabel bebas penelitian meliputi
tingkat higiene sanitasi lingkungan
dan kejadian infeksi.
2.
Variabel terikat penelitian adalah
status gizi anak usia 2-5 tahun yang diukur dengan skor Z indeks BB/U.
3.5.
Definisi Operasional
3.5.2.
Hygiene Sanitasi Lingkungan
Adalah jumlah skor dari
praktek responden dan sampel tentang higiene sanitasi lingkungan dan hasil
observasi sesaat yang meliputi kebersihan pribadi dan lingkungan sekitar rumah responden
yang diukur dari ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai
rumah serta kebersihan peralatan makan yang disusun dalam 13 pertanyaan. Setiap
jawaban responden diberi skor. Jika jawaban responden benar nilainya 1,
sedangkan jika jawaban salah nilainya 0. Untuk keperluan analisis, hgiene
sanitasi lingkungan dibagi dalam 3 kategori yaitu :
Baik : jika jumlah skor nilai 19-24
Cukup : jika jumlah skor nilai
13-18
Kurang : jika jumlah skor nilai 0-12
Skala : ordinal
3.5.3.
Infeksi
Adalah riwayat penyakit
baik Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas (ISPA) maupun diare yang pernah
diderita anak dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan data dinilai dari
jawaban responden pada kuesioner mengenai ISPA dan diare.
a.
Riwayat kejadian ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan bagian Atas) Adalah penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh
anak selama tiga bulan terakhir saat pengambilan data dengan gejala batuk,
mengeluarkan ingus, demam, dan tanpa sesak napas.
Skala : nominal,
Kategori : 1. Ya
2. Tidak
b.
Riwayat kejadian Diare
Adalah penyakit yang
pernah atau sedang diderita anak dalam tiga bulan terakhir dan saat pengambilan
data dengan gejala buang air besar ≥ 4 kali sehari dengan konsistensi cair
dengan atau tanpa muntah (Suandi, 1998)
Skala : nominal
Kategori : 1. Ya
2. Tidak
3.5.4.
Status
Gizi
Adalah skor z dengan
indeks BB/U dari anak usia 2-5 tahun diukur dengan menggunakan baku rujukan
WHO-NCHS yang dihitung secara manual.
Rumus untuk menghitung
skor z adalah sebagai berikut :
Berat badan saat ini – Median
Skor z =
_______________________________________
SD (median -(-1SD)
Kategori status gizi
berdasarkan skor z dengan indeks BB/U adalah:
a)
Gizi lebih : > 2 SD baku
WHO-NCHS
b)
Gizi baik : - 2 SD s/d +2 SD
c)
Gizi kurang : - 3 SD s/d -2 SD
d) Gizi
buruk : < -3 SD
Skala : rasio
3.6.
Aspek Pengukuran
1.
Kuesioner untuk mengumpulkan data primer
2.
Formulir recall konsumsi makanan untuk 3
hari secara tidak berturutan
3.
Timbangan badan injak dengan merek
Nikita dan ketelitian 0,1 kg
4.
Kartu Menuju Sehat (KMS)
3.7.
Metode Pengumpulan Data
- Pengambilan data sekunder dari DKK kota Medan untuk memperoleh data balita meliputi jumlah, nama dan alamat anak.
- Melakukan wawancara langsung dan observasi kepada responden untuk mengetahui faktor kejadian infeksi, dan sanitasi lingkungan.
3.8.
Analisis Data
Setelah data
dikumpulkan, dilakukan pengolahan data dengan tahaptahap sebagai berikut
(Budiarto, 2002) :
- Editing
Editing merupakan
langkah untuk meneliti kelengkapan data yang diperoleh melalui wawancara.
Editing dilakukan pada setiap daftar pertanyaan yang sudah diisi. Editing
meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi, dan relevansi
dari setiap jawaban yang diberikan. Editing dilakukan di lapangan. Peneliti
mengumpulkan dan memeriksa kembali kelengkapan jawaban dari kuesioner yang
diberikan. Hasil editing didapatkan semua data terisi lengkap dan benar.
- Koding
Adalah usaha untuk
mengklasifikasikan jawaban yang ada menurut jenisnya. Dilakukan dengan memberi
tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka. Selanjutnya kode
tersebut dimasukkan dalam tabel kerja untuk mempermudah dalam pembacaan.
- Tabulasi
Adalah kegiatan
memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel berdasarkan variabel yang
diteliti.
- Entri data
Adalah memasukkan data
yang telah ditabulasi ke dalam komputer program SPSS for Windows release 11,5
kemudian dilanjutkan analisis data (Santoso.S, 2002).
Analisa data meliputi :
a.
Analisa deskriptif
Analisa deskriptif
dibuat dengan menggunakan tabel-tabel untuk menggambarkan tingkat, kejadian
ISPA dan diare, higiene sanitasi lingkungan, dan status gizi anak usia 2-5
tahun di Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
b.
Analisa inferensial
Untukmengetahui hubungan sanitasi lingkungan dan kejadian infeksi dengan
status gizi maka data dianalisa secara statistik yaitu uji chisquare.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 4 Puskesmas di Kecamatan
Pekan Labuhan Belawan.
Puskesmas
tersebut adalah :
a.
Puskesmas Jimbaran
b.
Puskesmas Bandungan
c.
Puskesmas Bancak
d.
Puskesmas Susukan
Pemilihan 4 puskesmas tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa di 4 puskesmas
tersebut jumlah anak usia 2-5 tahun paling banyak dibandingkan puskesmas yang
lain.
4.2 Karakteristik
Responden
4.2.1.
Tingkat Pendidikan Ibu
Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan ibu
terendah 1 tahun, tertinggi 13 tahun dan rata-rata 6,5 tahun dengan standar deviasi
6,5 tahun. Sebagian besar responden tingkat pendidikannya kurang dari 9 tahun
yaitu sebanyak 92% dan yang lebih dari 9 tahun ada 8%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan responden
rendah karena belum mencapai batas minimal pendidikan dasar yang diwajibkan
pemerintah yaitu sampai 9 tahun (Sisdiknas, 2002).
Tabel 4.2.1
Distribusi
Responden
Berdasarkan
Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat
pendidikan Ibu
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
< 9 tahun
≥ 9 tahun
|
70
6
|
92,0
8,0
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.2.2.
Tingkat Pendapatan Per kapita
Tingkat pendapatan per kapita terendah Rp 25.000,00 tertinggi
Rp 200.000,00 dan rata-rata Rp 78.789,00, dengan standar deviasi Rp 32.644,00.
Sebagian besar responden tingkat pendapatan per kapitanya lebih besar dari Rp
72.780,00/ kapita/ bulan yaitu sebanyak 57,9%. Berdasarkan batas kemiskinan
dari BPS yaitu Rp 72.780,00/kapita/bulan, sebagian besar responden tingkat
pendapatannya di atas garis kemiskinan.
Tabel 4.2.2
Distribusi
Responden Berdasarkan
Tingkat
Pendapatan Per kapita
Tingkat
pendapatan perkapita
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
≤ Rp.
72.790.00
> Rp.
72.780.00
|
32
44
|
42,1
57,9
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.2.3.
Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang
Gizi
Dalam penelitian ini, tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi terendah 5, tertinggi 11, dan rata-rata 9,2 dengan standar deviasi
1,6. Sebanyak 51,3% responden tingkat pengetahuan gizinya termasuk kategori
kurang.
Menurut Winarto (1990), pentingnya pengetahuan
tentang gizi didasarkan pada tiga kenyataan. Pertama, status gizi yang cukup
merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan. Kedua, seseorang akan cukup gizi
jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan, dan energi. Ketiga, ilmu gizi
memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan
pangan dengan baik bagi kesehatan.
Tabel 4.2.3
Distribusi
Responden Berdasarkan
Tingkat
Pengetahuan Ibu tentang Gizi
Tingkat
Pengetahuan
Ibu
tentang Gizi
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Baik (<9 span="">
Kurang (≤9)
|
37
39
|
48,7
51,3
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.2.4.
Jumlah Anggota Keluarga
Dalam penelitian ini,
jumlah anggota keluarga responden terendah 3 orang, tertinggi 12 orang, dan
rata-rata 5 orang dengan standar deviasi 1,6. Sebanyak 76,3% responden jumlah
anggota keluarganya termasuk sedikit yaitu kurang dari 6 orang. Banyak sedikitnya
anggota keluarga berhubungan dengan distribusi makanan dalam suatu keluarga.
Hasil penelitian Dini Latief, dkk (2000) menunjukkan bahwa selama terjadi
krisis moneter, distribusi pangan yang dikonsumsi semakin memburuk pada rumah
tangga yang mempunyai anggota yang cukup besar.
Tabel
4.2.4
Distribusi
Responden Berdasarkan
Jumlah
Anggota Keluarga
Jumlah
anggota
Keluarga
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Sedikit (<
6 orang)
Banyak (≥ 6
orang)
|
58
18
|
76,3
23,7
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.2.5.
Tingkat Hygiene Sanitasi Lingkungan
Pada penelitian ini,
skor higiene sanitasi lingkungan responden terendah 10, tertinggi 23 dan
rata-rata 17 dengan standar deviasi 17,12. Sebanyak 52,6% responden tingkat
higiene sanitasi lingkungannya termasuk dalam kategori cukup. Sanitasi lingkungan
yang dinilai dalam penelitian ini meliputi ketersediaan air bersih,
ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada
setiap keluarga.
Tabel 4.2.5
Distribusi
Responden Berdasarkan
Tingkat Hygiene
Sanitasi Lingkungan
Tingkat
Higiene Sanitasi
Lingkungan
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Baik (20-24)
Cukup (15-19)
Kurang (10-14)
|
20
40
16
|
26,3
52,6
21,1
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.3.
Karakteristik Sampel
4.3.1.
Tingkat Konsumsi Energi
Pada penelitian ini, tingkat konsumsi energi sampel terendah
9%, tertinggi 100 %, rata-rata 42,72% (defisit) dengan standar deviasi 17,9%.
Sebagian besar sampel mengalami defisit yaitu sebesar 93,4%. Angka ini lebih
tinggi dari angka prevalensi rumah tangga di pedesaan pada tahun 1998 yang
mengalami defisit energi yaitu sebesar 47,5%.
Tabel 4.3.1
Distribusi
Sampel Berdasarkan
Tingkat Konsumsi
Energi
Tingkat
Konsumsi Energi
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
≥ 100% (baik)
80-99%
(Sedang)
70-80%
(Kurang)
< 70%
(Defisit)
|
1
1
3
71
|
1,3
1,3
3,9
93,4
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.3.2.
Tingkat Konsumsi Protein
Pada penelitian ini, tingkat konsumsi protein sampel
terendah 18,0% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan, tertinggi
187,0% AKG, dan rata-rata 82,21% AKG standar deviasi 33,96%. Ini artinya
rata-rata tingkat konsumsi protein sampel termasuk kategori sedang. Sebanyak
35,5% sampel mengalami defisit, tetapi ada 25% sampel tingkat konsumsi protein dengan
baik sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan. Angka defisit protein
pada penelitian ini lebih tinggi dari angka prevalensi rumah tangga yang
mengalami defisit protein di pedesaan pada tahun 1998 yaitu sebesar 26,7%.
Tabel
4.3.2
Distribusi
Sampel Berdasarkan
Tingkat
Konsumsi Protein
Tingkat
Konsumsi Preotein
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
≥ 100% (Baik)
80-99%
(Sedang)
70-80% Kurang)
< 70%
(Defisit)
|
19
20
10
27
|
25
26,3
13,2
35,5
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.3.3.
ISPA
Pada penelitian ini, dalam tiga bulan terakhir dan
saat pengambilan data sebagian besar sampel yaitu sebanyak 63,2% pernah
mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan bagian Atas).
Tabel 4.3.3
Distribusi
Sampel Berdasarkan ISPA
ISPA
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Ya
Tidak
|
48
28
|
63,2
35,8
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.3.4.
Diare
Pada penelitian ini, dalam tiga bulan terakhir dan
saat pengambilan data hanya 1,3% sampel yang pernah mengalami diare.
Tabel
4.3.4
Distribusi
Sampel Berdasarkan Diare
Diare
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Ya
Tidak
|
1
75
|
1,3
98,7
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.3.5.
Status Gizi
Pada penelitian ini, skor Z indeks BB/U sampel
terendah -3,5, tertinggi 1,9 dan rata-rata 1,74 (status gizi baik) dengan standar
deviasi 1,79. Setelah dikelompokkan, sampel yang mempunyai status gizi buruk
dan status gizi baik persentasenya sama yaitu masing-masing 39,6%. Angka gizi
buruk pada penelitian ini lebih tinggi dari angka gizi buruk hasil analisis
data Susenas tahun 1999 untuk kelompok usia 6 -23 bulan. Analisis data Susenas
tahun 1999 menunjukkan bahwa angka gizi buruk untuk kelompok usia 6 -23 bulan
sebesar 10,2%. Hal ini sesuai dengan pendapat Arnelia dan Sri Muljati (1991)
yang mengatakan bahwa pada usia 2-5 tahun pergeseran status gizi dari gizi
sedang ke gizi kurang karena anak sudah tidak mendapatkan ASI, sedangkan
makanan yang dikonsumsi belum memenuhi kebutuhan gizi yang semakin meningkat
seiring dengan pertambahan umur.
Tabel 4.3.5
Status Gizi
Sampel Berdasarkan Skor Z indeks BB/U
Status
gizi
|
Jumlah
(orang)
|
Persentase
(%)
|
Baik
Kurang
Buruk
|
30
16
30
|
39,6
20,8
39,6
|
Jumlah
|
76
|
100,0
|
4.4. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein.
4.4.1.
Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein.
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan ada
hubungan tingkat pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi (r=0,331 dan p=0,003)
dan tingkat konsumsi protein (r = 0,383 dan p = 0,001). Hal ini berarti bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin tinggi tingkat konsumsi energi
dan protein anaknya. Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi
termasuk informasi tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan lebih
mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit
menerima informasi baru di bidang gizi (Suharjo, 1992). Selain itu tingkat
pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu
pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah seseorang
menyerap informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi terkait
dengan pentingnya mengkonsumsi energi dan protein secara adekuat. Dengan
pendidikan gizi tersebut diharapkan akan tercipta pola kebiasaan yang baik dan
sehat (Handayani, 1994).
Schultz (1984) menjelaskan setidaknya ada 5 upaya
yang merupakan imbas dari pendidikan ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertama, pendidikan akan meningkatkan
sumberdaya keluarga. Kedua, pendidikan akan meningkatkan pendapatan keluarga.
Ketiga, pendidikan akan meningkatkan alokasi waktu untuk pemeliharaan kesehatan
anak. Keempat, pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan efektifitas
pemeliharaan kesehatan. Kelima, pendidikan akan meningkatkan referensi
kehidupan keluarga.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Graham (1972) dan Bairagi (1980) sebagaimana dikutip Satoto
(1990) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin baik
pertumbuhan anaknya.
4.4.2.
Hubungan Tingkat Pendapatan
Perkapita dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan tidak
ada hubungan tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat konsumsi energi (r =
0,100 dan p=0,389) dan protein (r = 0,133 dan p=0,251). Hal ini berarti tingkat
konsumsi energi dan protein antara anak dari keluarga miskin dengan anak yang
berasal dari keluarga yang tidak miskin hampir sama. Hal ini terjadi
kemungkinan karena masyarakat yang tingkat pendapatan per kapitanya di atas
garis kemiskinan tidak membelanjakan hartanya sesuai ilmu gizi. Kurangnya
pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada rendahnya anggaran untuk belanja
pangan dan mutu serta keanekaragaman makanan yang kurang. Keluarga lebih banyak
membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan.
Penelitian dengan hasil yang sama dilakukan oleh
Karjati dkk (1976) serta Fajans dkk (1983) yang tidak menemukan hubungan
tingkat pendapatan dengan pertumbuhan balita.
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Winarno
(1990) yang mengatakan jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan
juga akan membaik. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dillakukan oleh Alisyahbana (1984) yang menemukan bahwa ada hubungan pendapatan
keluarga dengan keadaan gizi anak. Demikian juga penelitian yang dilakukan
Satoto (1988) menunjukkan hubungan yang kuat kemakmuran keluarga dengan keadaan
gizi.
4.4.3.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
tentang Gizi dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Hasil uji statistik Rank Spearman menunjukkan
ada hubungan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi protein (r =
0,253 dan p = 0,027). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi
mempunyai peranan dalam meningkatkan konsumsi protein. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Khumaidi (1994) yang menyebutkan bahwa
pengetahuan ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi makan keluarga sehingga
dapat memperbaiki status gizi.
Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan
tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi (r= 0,222 dan p=0,142).
Hal ini mungkin disebabkan karena mengkonsumsi makanan sumber utama energi
merupakan sesuatu yang sudah umum berlaku di masyarakat. Jadi, untuk
mengkonsumsi makanan sumber energi masyarakat sudah tidak memerlukan
pengetahuan khusus. Selain itu bisa juga disebabkan karena bahan makanan sumber
energi relatif murah sehingga menjadi pilihan masyarakat pada saat terjadi
krisis ekonomi sebagaimana hasil penelitian Latief dkk (1999) yang menunjukkan
bahwa pada saat krisis ekonomi, konsumsi bahan makanan sumber utama energi
meningkat.
4.4.4. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan
Tingkat Konsumsi Energi dan
Protein
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi energi
(r=-0,029 dan p=0,804) dan protein (r=-0,132 dan p=0,256). Hal ini mungkin
karena dalam penelitian ini, jumlah anggota keluarga responden rata-rata 5
orang. Menurut Dini Latief, dkk (2000), pada keluarga yang beranggotakan 3 – 5
orang rata-rata intake energi dan protein masih mendekati nilai yang
dianjurkan, sedangkan pada rumah tangga yang beranggotakan 6 orang atau lebih
menunjukkan tingkat konsumsi pangan yang memburuk.
4.4.5.
Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
dengan Status Gizi
Uji statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa
ada hubungan tingkat konsumsi energi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (r
= 0,328 dan p=0,004). Demikian juga tingkat konsumsi protein dengan status gizi
(r = 0,348 dan p=0,002). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat konsumsi energi
dan protein semakin baik status gizinya. Tidak dipungkiri lagi bahwa masukan
zat gizi terutama energi dan protein mempengaruhi keadaan gizi seseorang. Hal
ini sesuai dengan pendapat Arnelia & Sri Muljati (1991) yang mengatakan
bahwa adanya penurunan status gizi disebabkan karena kurangnya jumlah makanan
yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut rumusan PERSAGI
(Persatuan Ahli Gizi Indonesia)
tentang penyebab gizi kurang, salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan gizi
adalah asupan makanan (Supariasa, 2002).
4.5.Hubungan Tingkat Hygiene
Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi
4.5.1.
Hubungan Tingkat Hygiene Sanitasi
Lingkungan dengan ISPA
Uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan tingkat higiene sanitasi lingkungan dengan terjadinya ISPA
pada anak usia 2-5 tahun (x2 =0,412 dan p = 0,814). Hal ini berarti bahwa
infeksi ISPA dapat terjadi pada tingkat higiene sanitasi lingkungan baik, cukup
atau kurang.
Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Pudjiadi
(1990) yang mengatakan bahwa anak yang berada di lingkungan dengan keadaan
higiene yang buruk akan lebih mudah terserang infeksi. Chen (1983) mengatakan
lingkungan sebagai sumber kontaminasi mikroorganisme yang menjurus pada
keseringan kesakitan infeksi. Hal ini mungkin disebabkan karena data higiene sanitasi
lingkungan kurang sensitif menggambarkan kondisi higiene sanitasi lingkungan
karena bentuk kuesionernya tertutup dan jawaban yang disediakan selalu,
kadang-kadang,dan tidak pernah. Responden menjawab hanya berdasarkan memorinya
saja.
4.5.2.
Hubungan Tingkat Hygiene Sanitasi
Lingkungan dengan Diare
Uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan tingkat higiene sanitasi lingkungan dengan terjadinya diare
pada anak usia 2-5 tahun (x2 =1,619 dan p=0,445). Hal ini berarti bahwa
penyakit diare dapat terjadi pada tingkat higiene sanitasi lingkungan baik,
cukup atau kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini sangat
sedikit sampel yang pernah mengalami diare. Hasil penelitian ini berbeda dengan
pendapat Suharyono dkk (1998) yang menyebutkan bahwa keadaan higiene sanitasi
yang buruk merupakan salah satu penyebab diare secara tidak langsung.
4.6.Hubungan Infeksi dengan
Status Gizi
4.6.1.
Hubungan ISPA dengan Status Gizi
Uji statistik Chi-Square menunjukkan ada
hubungan kejadian ISPA dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (x2 =12,377 dan
p=0,002). Hal ini berarti bahwa status gizi dari anak yang menderita ISPA lebih
buruk dari pada anak yang tidak menderita ISPA. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kabir (1994) yang mengatakan bahwa ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Menurut Winarno, (1990), infeksi dapat
menurunkan nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.
Pada penderita ISPA biasanya nafsu makannya menurun, sehingga jumlah makanan yang
seharusnya dikonsumsi tidak terpenuhi.
Tabel
4.6.1
Distribusi
Sampel Berdasarkan Status Gizi dan ISPA
Status
gizi
|
ISPA
|
Total
|
|
ISPA
|
Tidak
|
||
Status gizi
baik
Status gizi
kuranbg
Status gizi
buruk
|
12
11
25
|
18
5
5
|
30
16
30
|
Jumlah
|
48
|
28
|
76
|
4.6.2.
Hubungan Diare dengan Status Gizi
Uji statistik Chi-Square menunjukkan tidak
ada hubungan kejadian diare dengan status gizi anak usia 2-5 tahun (x2=4,789 dan
p = 0,091). Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini hanya sedikit
sekali sampel yang mengalami diare dalam 3 bulan terakhir (1,3 %). Hasil
penelitian ini berbeda dengan penelitian Scrimshaw (1981) yang mengemukakan
bahwa dampak diare terhadap keadaan gizi dan pertumbuhan lebih dahsyat dari pada
infeksi lain karena selama diare terjadi gangguan masukan, gangguan absorbsi,
dan gangguan metabolisme secara bersamaan.
Rangkuman
Hasil Uji Statistik
No
|
Variabel
bebas
|
Variabel
terikat
|
Uji
statistik
|
r
/ x 2
|
p
|
1
|
Tingkat
pendidikan ibu
|
Tingkat konsumsi
energy
|
Rank Spearman
|
r= 0,331
|
0,003
|
2
|
Tingkat
pendapatan perkapita
|
Tingkat
konsumsi energy
|
Rank Spearman
|
r=
0,100
|
0,389
|
3
|
Tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi
|
Tingkat
konsumsi energy
|
Rank Spearman
|
r=
0,142
|
0,804
|
4
|
Jumlah anggota
keluarga
|
Tingkat konsumsi
energy
|
Rank Spearman
|
r=
0,029
|
0,222
|
5
|
Tingkat
pendidikan Ibu
|
Tingkat
konsumsi protein
|
Rank Spearman
|
r=
0,383
|
0,001
|
6
|
Tingkat
pendapatan perkapita
|
Tingkat
konsumsi protein
|
Rank Spearman
|
r=
0,133
|
0,251
|
7
|
Tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi
|
Tingkat
konsumsi protein
|
Rank Spearman
|
r=
0,253
|
0,256
|
8
|
Jumlah anggota
keluarga
|
Tingkat
konsumsi protein
|
Rank Spearman
|
r=
0,132
|
0,027
|
9
|
Tingkat hygiene sanitasi lingkungan
|
Kejadian ISPA
|
Chi-Square
|
X2=
0,412
|
0,814
|
10
|
Tingkat hygiene sanitasi lingkungan
|
Kejadian Diare
|
Chi-Square
|
X2=
1,619
|
0,445
|
11
|
Tingkat
konsumsi energy
|
Status gizi
anak usia 2-5 tahun
|
Rank Spearman
|
r=
0,328
|
0,001
|
12
|
Tingkat
konsumsi protein
|
Status gizi
anak usia 2-5 tahun
|
Rank Spearman
|
r=
0,348
|
0,004
|
13
|
Kejadian ISPA
|
Status gizi
anak usia 2-5 tahun
|
Chi-Square
|
X2=
12,377
|
0,002
|
14
|
Kejadian Diare
|
Status gizi
anak usia 2-5 tahun
|
Chi-Square
|
X2=
4,789
|
0,091
|
4.7.Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa jarak
pengambilan data dengan pengolahan data cukup lama, skoring higiene sanitasi lingkungan
dan pengetahuan ibu tentang gizi yang tidak baku sehingga pemanfaatan hasil
penelitian ini berkurang.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
1.
Sebanyak 92% responden tingkat
pendidikannya rendah (kurang dari 9 tahun), 57,9% responden tingkat
pendapatannya di atas garis kemiskinan, 51,3% responden tingkat pengetahuan
gizinya termasuk dalam kategori kurang, 76,3% responden jumlah anggota
keluarganya sedikit (< 6 orang), dan 52,6% responden tingkat higiene
sanitasi lingkungannya termasuk kategori cukup.
2.
Sebanyak 93,4% sampel tingkat konsumsi
energinya termasuk kategori defisit, 35,5% sampel tingkat konsumsi proteinnya termasuk
kategori defisit. Selama 3 bulan terakhir 63,2% sampel mengalami ISPA dan hanya
1,3% sampel yang mengalami diare. Sampel yang mempunyai status gizi buruk
sebanyak 39,6%.
3.
Ada hubungan tingkat pendidikan ibu
dengan tingkat konsumsi energi (p=0,003) pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan
Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi
tingkat konsumsi energi anaknya.
4.
Ada hubungan tingkat pendidikan ibu
(p=0,001).dan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi (p=0,027) dengan tingkat
konsumsi protein pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun
2013. Semakin tinggi pendidikan ibu dan semakin baik pengetahuan ibu tentang
gizi maka semakin tinggi tingkat konsumsi protein anaknya.
5.
Ada hubungan tingkat konsumsi energi
(p=0,004), tingkat konsumsi protein (p=0,002), dan kejadian ISPA (p = 0,002)
dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun
2013. Semakin baik tingkat konsumsi energi dan protein maka semakin baik status
gizi anak usia 2-5 tahun. Anak yang menderita ISPA status gizinya lebih buruk
dari anak yang tidak menderita ISPA.
6.
Tidak ada hubungan tingkat pendapatan
per kapita (p= 0,389), tingkat pengetahuan ibu tentang gizi (p=0,222), dan
jumlah anggota keluarga (p=0,804) dengan tingkat konsumsi energi pada anak usia
2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
7.
Tidak ada hubungan tingkat pendapatan
per kapita (p=0,251) dan jumlah anggota keluarga (p=0,256) dengan tingkat
konsumsi protein pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun
2013.
8.
Tidak ada hubungan higiene sanitasi
lingkungan dengan kejadian ISPA (p = 0,814) dan diare (p = 0.445) pada anak
usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan Belawan Tahun 2013.
9.
Tidak ada hubungan kejadian diare (p =
0,091) dengan status gizi pada anak usia 2-5 tahun di Kecamatan Pekan Labuhan
Belawan Tahun 2013.
5.2.Saran
5.2.1.
Bagi Dinas Kesehatan
Membuat penyuluhan yang
menarik untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang gizi dan pentingnya
pencegahan ISPA.
5.2.2.
Bagi Dinas Pendidikan
Mendorong masyarakat
khususnya ibu-ibu yang belum memenuhi kewajibannya wajib belajar 9 tahun untuk
mengikuti program Kejar Paket C.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar